Selasa, 26 Februari 2013

Teladan Di Jalan Dakwah.

Dakwah Islamiyah telah menyumbangkan keteladanan yang tiada bandingannya. Telah banyak berkorban putra-putra Islam di atas jalan ini sepanjang sejarah. Darah mereka menjadi api obor bagi generasi-generasi yang datang sesudah mereka. Jika Hasan Al Banna telah dibunuh di jalan protokol terbesar di kota Qahirah, yakni di lapangan Ramses, dan kemudian dihabisi nyawanya di kamar bedah rumah sakit. Tidak ada yang menshalati jenazahnya selalin empat orang perempuannya saja. Namun darahnya telah menghidupkan generasi-generasi sesudahnya di bumi ini.

Jika Abdul Qadir Audah, Muhammad Farghali, Yusuf Thal’at, Handawi Dawir, Ibrahim Thayyib, Mahmud Lathif, Sayyid Quthb, Abdul Fattah Isma’il, Muhammad Yusuf Hawwasy, Shaleh Sirriyah dan Karim Al Anadluli serta yang lain dapat mereka bunuh, namun darah mereka tidak hilang sia-sia. Darah mereka laksana api yang menggelegarkan dada-dada generasi Islam yang berusaha untuk menegakkan Dien Allah. Mengikuti jalan mereka sebelumnya Al Qassam, Sallamah dan Al ‘Izzu bin ‘Abdussalam serta yang lainnya.

Mereka telah menerangi kita dengan nyala api untuk kita pegang dalam melangkah di atas jalan dakwah. Darah-darah mereka merupakan menara petunjuk bagi generasi-generasi yang mau mencari petunjuk. Hamidah Quthb pernah bercerita kepadaku. Katanya : “Pada tanggal 28 Agustus 1966. Hamzah Basiyuni, Direktur Penjara Perang memanggilku. Lalu dia memperlihatkan surat keputusan hukuman mati bagi Sayyid Quthb, Hawwasy dan Abdul Fattah Isma’il, kepadaku. Lantas dia mengatakan: “Kita masih punya kesempatan terakhir untuk menyelamatkan Ustadz (Sayyid Quthb), yakni dia harus minta maaf. Dia akan diringankan dari hukuman mati, dan sesudah enam bulan dia akan keluar dari penjara dalam keadaan sehat wal afiat. Kalau dia jadi dibunuh, maka demikian itu akan berarti suatu kerugian bagi seluruh dunia. Pergi dan bujuklah dia supaya mau minta maaf”.

Hamidah menyambung : “Lalu aku pergi menemuinya di penjara. Sampai di sana kukatakan kepadanya: “Sesungguhnya mereka mengatakan jika engkau mau minta maaf maka mereka akan meringankan hukuman matimu”. Maka dia menjawab : “Atas kesalahan apa aku harus minta maaf wahai Hamidah, apakah karena aku beramal di pihak Rabbul 'Izzati? Demi Allah, sekiranya aku bekerja untuk pihak lain selain Allah tentu aku akan minta maaf. Akan tetapi sekali-kali aku tidak akan minta maaf karena beramal di pihak Allah.

Tenanglah wahai Hamidah, sekiranya umur belum waktunya habis maka hukuman mati itu tidak akan jadi dilaksanakan. Tidak berguna sama sekali maaf itu untuk mempercepat ajal atau mengakhirinya”.
Itulah jiwa yang dipoles iman!! Kekuatan macam apa ini!! Keteguhan hati macam apa ini!! Tali gantungan nampak di depan matanya, namun dia masih sempat menenangkan hati yang hidup atas qudratullah dan qadarNya.

Basyir Al Ibrahim mengatakan : “Pernah suatu ketika, aku berada di dekat raja Faruq (raja Mesir waktu itu). Aku mendengar mereka tengah berbisik-bisik tentang rencana pembunuhan Hasan Al Banna. Maka aku segera pergi menemui Hasan Al Banna dan kukatakan kepadanya : “Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu”. (QS. Al Qashash : 20)

Maka dia menjawab : “Apakah engkau berfikir begitu (dia ulang tiga kali), ketahuilah : “Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaq : 3)

Sesungguhnya kalau kematian sudah menjadi ketentuan Allah, maka kewaspadaan itu tidak akan dapat menyelamatkan”.